Rabu, 22 Juni 2011

ASKEP TETANUS

TINJAUAN TEORI
TETANUS

A. DEFINISI
Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan (Parry CM, dkk. 2009)
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw, merupakan penyakit yang disebakan oleh tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid) (Klein J. 2007)
Tetanus adalah penyakit yang mengenai sistem saraf yang disebabkan oleh tetanospasmin yaitu neurotoksin yang dihasilkan oleh Clostridium tetani. Penyakit ini ditandai oleh adanya trismus, disfagia, dan rigiditas otot lokal yang dekat dengan tempat luka, sering progresif menjadi spasme otot umum yang berat serta diperberat dengan kegagalan respirasi dan ketidakstabilan kardiovaskular. Gejala klinis tetanus hampir selalu berhubungan dengan kerja toksin pada susunan saraf pusat dan sistem saraf autonom dan tidak pada sistem saraf perifer atau otot.
Clostridium tetani merupakan organisme obligat anaerob, batang gram positif, bergerak, ukurannya kurang lebih 0,4 x 6 μm. Mikroorganisme ini menghasilkan spora pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis. Spora Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan pengeringan. Kuman ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang. (Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871)
Kitasato merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi yang spesifik (Klein J. 2007)

B. ETIOLOGI
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob, Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi) (Brennen U. 2008).
Penyakit ini merupakan 1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme) (Perlstein D. 2010)
Tempat masuknya kuman penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan (Parry CM, dkk. 2009).
Pada keadaan anaerobik, spora bakteri ini akan bergerminasi menjadi sel vegetatif. Selanjutnya, toksin akan diproduksi dan menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah dan sistem limpa. Toksin tersebut akan beraktivitas pada tempat-tempat tertentu seperti pusat sistem saraf termasuk otak. Gejala klonis yang ditimbulakan dari toksin tersebut adalah dengan memblok pelepasan dari neurotransmiter sehingga terjadi kontraksi otot yang tidak terkontrol. Akibat dari tetanus adalah rigid paralysis (kehilangan kemampuan untuk bergerak) pada voluntary muscles (otot yang geraknya dapat dikontrol), sering disebut lockjaw karena biasanya pertama kali muncul pada otot rahang dan wajah. Kematian biasanya disebabkan oleh kegagalan pernafasan dan rasio kematian sangatlah tinggi (Martinko JM, dkk. 2006)

C. PATOFISIOLOGI
Menurut (Parry CM, dkk. 2009), Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara, sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik
Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
D. MANIFESTASI KLINIS
Menurut (Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871) Manifestsi klinis tetanus bervariasi dari kekakuan otot setempat, trismus sampai kejang yang hebat. Masa timbulnya gejala awal tetanus sampai kejang disebut awitan penyakit, yang berpengaruh terhadap prognostik.
Manifestasi klinis tetanus terdiri atas 4 macam yaitu:
a.       Tetanus lokal
Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejalanya meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot disekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus umum.
b.      Tetanus sefal
Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1-2 hari, yang disebabkan oleh luka pada daerah kepala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonikus dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefal jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya biasanya jelek.
c.       Tetanus umum
Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa berupa trismus, iritable, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opisthotonus), fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.
d.      Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena tehnik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan dan spasme. Posisi tubuh klasik : trismus, kekakuan pada otot punggung menyebabkan opisthotonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru.
Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s :
  1. Derajat I (ringan)
Trismus ringan sampai sedang, kekakuan umum, spasme tidak ada, disfagia tidak ada atau ringan, tidak ada gangguan respirasi.
  1. Derajat II (sedang)
Trismus sedang dan kekakuan jelas, spasme hanya sebentar, takipneu dan disfagia ringan
  1. Derajat III (berat)
Trismus berat, otot spastis, spasme spontan, takipneu, apnoeic spell, disfagia berat, takikardia dan peningkatan aktivitas sistem otonomi
  1. Derajat IV (sangat berat)
Derajat III disertai gangguan otonomik yang berat meliputi sistem kardiovaskuler, yaitu hipertensi berat dan takikardi atau hipotensi dan bradikardi, hipertensi berat atau hipotensi berat. Hipotensi tidak berhubungan dengan sepsis, hipovolemia atau penyebab iatrogenik.
Bila pembagian derajat tetanus terdiri dari ringan, sedang dan berat, maka derajat tetanus berat meliputi derajat III dan IV.

E. FAKTOR RESIKO TETANUS
Tetanus beresiko terjadi pada bayi baru lahir, anak-anak, dewasa muda dan orang tua yang tidak mendapatkan immunisasi atau dapat imunisasi yang didapat tidak adekuat,  pengguna obat-obat dengan infeksi.

F. DIAGNOSIS
    1. Riwayat dan temuan secara fisik
Kenaikan tonus otot skelet: trismus, kontraksi otot-otot kepala/wajah dan mulut, perut papan
    2. Pemeriksaan laboratorium
Kultur luka (mungkin negative)
Test tetanus anti bodi
    3. Tes lain untuk menyingkirkan penyakit lain seperti meningitis, rabies, epilepsy dll

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
  1. EKG: interval CT memanjang karena segment ST.  Bentuk takikardi ventrikuler (Torsaderde pointters)
  2. Pada tetanus kadar serum 5-6 mg/al atau 1,2-1,5 mmol/L atau lebih rendah kadar fosfat dalam serum meningkat.
  3. Sinar X tulang tampak peningkatan denitas foto Rontgen pada jaringan subkutan atau basas ganglia otak menunjukkan klasifikasi.
H. PENATALAKSANAAN
1.      Netralisasi toksin dengan tetanus antitoksin (TAT)
a.       hiperimun globulin (paling baik)
Dosis: 3.000-6.000 unit IM
Waktu paruh: 24 hari, jadi dosis ulang tidak diperlukan
Tidak berefek pada toksin yang terikat di jaringan saraf; tidak dapat menembus barier darah-otak
b.      Antitoksin kuda
Serum anti tetanus (ATS) menetralisir toksin yang masih beredar.
Dosis: 100.000 unit, dibagi dalam 50.000 unit IM dan 50.000 unit IV, pelan setelah dilakukan skin test
2.      Perawatan luka
a.       Bersihkan, kalau perlu didebridemen, buang benda asing, biarkan terbuka (jaringan nekrosis atau pus membuat kondisis baik C. Tetani untuk berkembang biak)
b.      Penicillin G 100.000 U/kg BB/6 jam (atau 2.000.000 U/kg BB/24 jam IV) selama 10 hari
c.       Alternatif
Tetrasiklin 25-50 mg/kg BB/hari (max 2 gr) terbagi dalam 3 atau 4 dosis
Metronidazol yang merupakan agent anti mikribial.
Kuman penyebab tetanus terus memproduksi eksotoksin yang hanya dapat dihentikan dengan membasmi kuman tersebut.
3.      Berantas kejang
a.       Hindari rangsang, kamar terang/silau, suasana tenang
b.      Preparat anti kejang
c.       Barbiturat dan Phenotiazim
-         Sekobarbital/Pentobarbital 6-10 mg/kg BB IM jika perlu tiap 2 jam untuk optimum level, yaitu pasien tenag setengah tidur tetapi berespon segera bila dirangsang
-         Chlorpromazim efektif terhadap kejang pada tetanus
-         Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB/3-6 jam IV kalau perlu 10-15 mg/kg BB/24 jam: mungkin 2-6 minggu
4.      Terapi suportif
a.       Hindari rangsang suara, cahaya, manipulasi yang merangsang
b.      Perawatan umum, oksigen
c.       Bebas jalan napas dari lendir, bila perlu trakeostomi
d.      Diet TKTP yang tidak merangsang, bila perlu nutrisi parenteral, hindari dehidrasi.  Selama pasase usus baik, nutrisi interal merupakan pilihan selain berfungsi untuk mencegah atropi saluran cerna.
e.       Kebersihan mulut, kulit, hindari obstipasi, retensi urin

I. KOMPLIKASI
1.Hipertensi
2.Kelelahan
3.Asfiksia
4.Aspirasi pneumonia
5.Fraktur dan robekan otot
Mortalitas 44-55%.  Faktor yang berpengaruh jelek adalah: luasnya otot yang terlibat, panas tinggi, masa inkubasi yang pendek.  Kematian biasanya terjadi pada minggu pertama sakit 
                                                                          (Komite medik RSUP Dr. Sardjito, 2000)

J. PENCEGAHAN
Menurut (WHO. 1996) Mencegah tetanus melalui vaksinasi adalah jauh lebih baik daripada mengobatinya. Pada anak-anak, vaksin tetanus diberikan sebagai bagian dari vaksin DPT (difteri, pertusis, tetanus). Bagi yang sudah dewasa sebaiknya menerima booster.
Pada seseorang yang memiliki luka, jika:
  1. Telah menerima booster tetanus dalam waktu 5 tahun terakhir, tidak perlu menjalani vaksinasi lebih lanjut
  2. Belum pernah menerima booster dalam waktu 5 tahun terakhir, segera diberikan vaksinasi
  3. Belum pernah menjalani vaksinasi atau vaksinasinya tidak lengkap, diberikan suntikan immunoglobulin tetanus dan suntikan pertama dari vaksinasi 3 bulanan.
Setiap luka (terutama luka tusukan yang dalam) harus dibersihkan secara seksama karena kotoran dan jaringan mati akan mempermudah pertumbuhan bakteri Clostridium tetani.

K. MASALAH KEPERAWATAN YANG MUNCUL
Menurut (Nanda, 2001) Masalah keperawatan yang mungkin muncul pada klien dengan tetanus antara lain:
1.  Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukan sekresi sekrit akibat kerusakan otot-otot menelan.
2.     Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi)
3.      Risiko trauma/injuri berhubungan dengan peningkatan koordinasi otot (kejang), irritabilitas
4.      Resiko apirasi berhubungan dengan penurunan kesadaran, gangguan menelan
5.      Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan gangguan menelan/intake kurang, diaphoresis
6.     Gangguan menelan berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler otot menelan.
7.  Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan penurunan reflek menelan, intake kurang
8.   Gangguan eliminasi bowel berhubungan dengan kerusakan motor nerve bawah, tekanan yang tinggi dari abdomen atau intestinal.
9.      Gangguan eliminasi urine berhubungan dengan kerusakan sensori motor.
10.  Sindrome self care perawatan diri, makan, toileting, berpakaian, mobilisasi
11.  PK infeksi
12. Defisit pengetahuan (tentang penyakit, penyebab) berhubungan dengan tidak mengenal sumber informasi.
13.  Kerusakan komunikasi verval

DAFTAR PUSTAKA


Nanda, 2001, Nursing Diagnosis: Definitions & Classification 2001-2002, Ed-, United States of America
WHO. 1996. The “high-risk” approach: the WHO-recommended strategy to accelerate elimination of neonatal tetanus. Wlky Epidemiol Rec 71:33–36.
Komite medik RSUP Dr. Sardjito, 2000. Standar Pelayanan Medis, Edisi 2, Cetakan I, Medika FK UGM, Yogyakarta
Rauscher LA. Tetanus. Dalam :Swash M, Oxbury J, penyunting. Clinical Neurology. Edinburg : Churchill Livingstone, 1991 ; 865-871
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2009. Tetamus. J Neurol, Neurosurg, and Psychia 69 (3): 292–301
Madigan MT, Martinko JM. 2006. Brock Biology of Microorganisms 11th ed. New Jersey : Pearson Education.Hal. 233-245
Perlstein D. 2010. Tetanus (Lockjaw & Tetanus Vaccinations). [terhubung berkala] http://www.medicinenet.com/tetanus/article.htm [13 Mei 2010].
Brennen U. 2008. Clostridium tetani. [terhubung berkala] http://bioweb.uwlax.edu/bio203/s2008/unrein_bren/ [12 Mei 201
Klein J. 2007. Infections tetanus. [terhubung berkala]. http://www.kidshealth.org/parent/infections/bacterial_viral/tetanus.html [31 Mei 2008].
Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, Parry CM. 2009. Tetamus. J Neurol, Neurosurg, and Psychia 69 (3): 292–301

ASKEP INFEKSI NIFAS

                          A.            DEFINISI
Nifas atau puerperium adalah periode waktu atau masa dimana organ-organ reproduksi kembali kepada keadaan tidak hamil. Masa ini membutuhkan waktu sekitar enam minggu (Fairer, Helen, 2001:225)
Masa nifas atau masa puerperium mulai setelah partus selesai dan berakhir setelah kira-kira enam minggu (Wiknjosastro, Hanifa, 1999: 237)
Masa nifas (puerperium) adalah masa pulih kembali, mulai dari persalinan selesai sampai alat-alat kandungan kembali seperti pra-hamil, lama masa nifas ini yaitu 6-8 minggu (Mochtar, Rustam, 1998:115)
Infeksi Nifas adalah semua peradangan yang disebabkan oleh masuknnya kuman-kuman kedalam alat-alat genetalia pada waktu persalinan dan nifas (Ambarwati dan Wulandari, 2009:122)
Infeksi nifas adalah infeksi pada dan melalui traktus genetalis setelah persalinan. Suhu 38 °C atau lebih yang terjadi antara hari ke 2-10 postpartum dan diukur peroral sedikitnya empat kali sehari (Mochtar, Rustam, 1998:115)

                             B.            ETIOLOGI
Menurut (Ambarwati dan Wulandari, 2009:122-123) :
1.      Berdasarkan masuknya kuman kedalam alat kandungan.
a.       Ektogen (kuman datang dari luar)
b.      Autogen (kuman masuk dari tempat lain dalam tubuh)
c.       Endogen (dari jalan lahir sendiri)
2.      Berdasarkan kuman yang sering menyebabkan infeksi.
a.       Streptococcus Haemolyticus Aerobik
Masuknya secara eksogen dan menyebabkan infeksi berat yang ditularkan dari penderita lain, alat-alat yang tidak suci hama, tangan penolong.
b.      Staphylococcus aureus
Masuk secara eksogen, infeksinya sedang, banyak ditemukan sebagai penyebab infeksi dirumah sakit.
c.       Eschericia coli
Sering berasal dari kandung kemih dan rektum, menyebabkan infeksi terbatas.
d.      Clostridium welchii
Kuman aerobik yang sangat berbahaya, sering ditemukan pada abortus kriminalis dan partus yang ditolong dukun dari luar rumah sakit.

                             C.            TANDA DAN GEJALA
Infeksi akut ditandai dengan demam, sakit didaerah infeksi, berwarna kemerahan, fungsi organ tersebut terganggu. Gambaran klinis infeksi nifas dapat berbentuk :
1.      Infeksi local
Pembekakan luka episiotomi, terjadi penanahan, perubahan warna kulit, pengeluaran lhocea bercampur nanah, mobilitasi terbatas karena rasa nyeri, temperature badan dapat meningkat.
2.      Infeksi umum
Tampak sakit dan lemah, temperature meningkat, tekanan darah menurun dan nadi meningkat, pernapasan dapat meningkat dan teras sesak, kesadaran gelisah sampai menurun dan koma, terjadi gangguan involusi uterus, lochea berbau dan bernanah serta kotor.

                            D.            PATOFISIOLOGI
Setelah kala III, daerah bekas insersio plasenta merupakan sebuah luka dengan diameter kira-kira 4 cm. Permukaanya tidak rata, berbenjol-benjol karena banyaknya vena yang ditutupi thrombus. Daerah ini merupakan tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman dan masuknya jenis yang pathogen dalam tubuh wanita. Servik sering mengalami perlukaan pada persalinan, demikian juga vulva, vagina dan perineum, yang merupakan tempat masuknya kuman patogen. Infeksi nifas dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu satu infeksi yang terbatas pad perineum, vulva, vagina, servik dan endometrium, kedua penyebaran dari tempat tersebut melalui vena-vena, melalui jalan limfe dan melalui permukaan endometrium.

                             E.            PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan diagnostik
1.      Jumlah sel darah putih (SDP)
2.      Hemoglobin ( Hb / ht ), untuk mengetahui penurunan pada adanya anemia
3.      Kultur ( aerobik / anaerobik ) dari bahan intra uterus atau intra servikal atau drainase luka atau pewarnaan gram dari lokhia serviks dan uterus mengidentifikasi organisme penyebab.
4.      Urinalisis dan kultur : mengesampingkan interaksi saluran kemih
5.      Ultrasonografi : menentukan adanya fragmen-fragmen plasenta yang tertahan, melokalisasi abses peritoneum.
6.       Pemeriksaan biomanual : menentukan sifat dan lokasi nyari pelvis. Masa atau pembentukan abses atau adanya vena-vena dengan trombosis.

                              F.            PENATALAKSANAAN
1.      Pengobatan infeksi nifas
a.       Sebaiknya segera dilakukan pembiakan ( kultur) dan sekret vagina dari luka operasi dan darah serta uji kepekaan untuk mendaptkan antibiotik yang tepat dalam pengobatan.
b.      Lalu berikan dosis yang cukup dan adekuat.
c.       Karena pemeriksa memberikan waktu lama berikan antibiotika spektrum luas ( blood spectrum )
d.      Pengobatan yang dapat mempertinggi daya tahan tubuh penderita (infus, transfusi darah).

2.      Pengobatan kemoterapi dan antibiotic
a.       Kemasan sulfonamide
b.      Trisulfa merupakan kombinasi dari suldizim 185, sulfa metazin 130 mg dan sulfa tiozol 183 mg.
c.       Dosis insial 2 gr diikuti 1 gr 4-6 jam kemudian per oral.
d.      Kemasan penisilin
e.       Prokain-penisilin 1,2-2,4 juta im. Penisilin 6.500 satuan setiap 6 jam atau metasilin 1 gr setiap 6 jam im ditambah dengan ampisilin kapsul 4x250 mg/oral.
f.        Tetrasiklin, entromisin dan khlorampenikol

                            G.            ASUHAN KEPERAWATAN INFEKSI NIFAS
                        Asuhan keperawatan klien dengan infeksi nifas adalah sebagai berikut (Doenges, 2001) :
1.      Pengkajian
a.       Identitas klien
Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical record, dan lain-lain.
b.      Riwayat kesehatan
1)      Riwayat kesehatan sekarang
Keluhan yang dirasakan ibu saat ini:
a)      pengeluaran lochia yang tetap berwarna merah dalam
bentuk rubra dalam beberapa hari postpartum atau lebih dari 2 minggu postpartum.
b)       adanya leukore dan lochia berbau menyengat
2)      Riwayat kesehatan dahulu
a)Riwayat penyakit jantung,hipertensi,penyakit ginjal kronik, hemofilia,mioma uteri ,riwayat pre eklampsia,trauma jalan lahir, kegagalan kompresi pembuluh darah, tempat implantasi plasenta retensi sisa plasenta.
b)      Riwayat penyakit keluarga
Ada riwayat keluarga yang pernah /sedang menderita
hipertensi,peny jantung dan pre eklampsia,penyakit keturunan hemopilia dan penyakit menular.
c)Riwayat obstetric
1.      Riwayat menstruasi meliputi : menarche, lamanya siklus,
banyaknya,baunya,keluhan waktu haid.
2.       Riwayat perkawinan meliputi : usia kawin,kawin yang keberapa,
usia mulai hamil
d)      Riwayat hamil, persalinan dan nifas yang lalu
1)      Riwayat hamil meliputi:waktu hamil muda,hamil tua, apakah ada abortus.
2)      Riwayat persalinan meliputi : Tuanya kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin, adakah kesulitan dalam persalinan, anak lahir hidup atau mati, BB dan panjang anak waktu lahir.
3)      Riwayat nifas meliputi : Keadaan lochia, apakah ada perdarahan, ASI cukup atau tidak, kondisi
ibu saat nifas, tinggi fundus uteri dan kontraksi.
e) Riwayat kehamilan sekarang
1)      Hamil muda:keluhan selama hamil muda
2)       Hamil tua : keluhan selama hamil tua,peningkatan BB,suhu nadi, pernafasan, peningkatan tekanan darah, keadaan gizi akibat mual, keluhan lain.
3)      Riwayat ANC meliputi : Dimana tempat pelayanan, berapa kali,perawatan serta pengobatannya yang didapat.


f)  Riwayat persalinan sekarang
Pada riwayat persalinan sekarang meliputi : Tuanya kehamilan, cara persalinan, penolong, tempat bersalin, apakah ada penyulit dalam persalinan (misalnya : retensio plasenta, perdarahan yang berlebihan setelah persalinan), anak lahir hidup atau mati, BB dan panjang anak waktu lahir.

2.      Pemeriksaan fisik
a.       Pemeriksaan umum
1)      Aktivitas istirahat
Tanda : Kelelahan / keletihan ( persalinan lama, seresor, pasca partum multipel )
2)      Sirkulasi
Tanda : Takikardi
3)      Penggunaan Obat-Obatan
Tanda : Ansietas jelas ( peritonitis )
4)      Status Psikologis
Tanda :
a. Anoreksia, mual / muntah.
b. Haus, membran mukosa kering
c. Distenti abdomen, kekakuan, nyeri lepas (peritonitis)
5)      Neurosensori
Tanda : Sakit kepala
6)       Nyeri / Ketidaknyamanan
Tanda :
a. Nyeri lokal, disuria, ketidakmampuan abdomen.
b. Afterpain berat atau lama, nyeri abdomen bawah atau uterus serta nyeri tekan dengan guarding (endometritis)
c. Nyeri / kekakuan abdomen unilateral / bilateral ( salpingitis / ooferitis, parametritis ).
7)      Pernapasan
Tanda : Pernapasan cepat / dangkal ( berat / proses sistemik ).
8)      Keamanan
Suhu 104,40 F atau lebih tinggi pada 2 hari secara terus menerus, namun 24 jam pasca partum adalah tanda infeksi, namun suhu tinggi dari 1010 F (38,90 C) pada 24 jam pertama menandakan berlanjutnya infeksi.
b.      Pemeriksaan khusus
1)      Uterus
Meliputi : tinggi fundus uteri dan posisinya serta konsistensinya.
2)      Lochia
Meliputi : warna, banyaknya dan baunya.
3)      Perineum
Diobservasi untuk melihat apakah ada tanda infeksi dan luka
jahitan
4)      Vulva
Dilihat apakah ada edema atau tidak
5)      Payudara
Dilihat kondisi aerola, konsistensi dan kolostrum

3.      Diagnosa keperawatan dan intervensi
a.       Infeksi berhubungan dengan trauma persalinan, jalan lahir, dan infeksi nasokomial.
1)      Tujuan 1 : Mencegah dan mengurangi infeksi.
Intervensi :
a)      Kaji data pasien dalam ruang bersalin.Infeksi perineum (menggunakan senter yang baik), catat warna, sifat episiotomi dan warnanya. Perkiraan pinggir epis dan kemungkinan perdarahan atau nyeri.
b)      Kaji tinggi fundus dan sifat.
c)      Kaji lochia: jenis, jumlah, warna dan sifatnya. Hubungkan dengan data post partum.
d)      Kaji payudara: eritema, nyeri, sumbatan dan cairan yang keluar (dari puting). Hubungkan dengan data perubahan post partum masing-masing dan catat apakah klien menyusui dengan ASI.
e)      Monitor vital sign, terutama suhu setiap 4 jam dan selama kondisi klien kritis. Catat kecenderungan demam jika lebih dari 38o C pada 2 hari pertama dalam 10 hari post partum. Khusus dalam 24 jam sekurang-kurangnya 4 kali sehari.
f)        Catat jumlah leukosit dan gabungkan dengan data klinik secara lengkap.
g)      Lakukan perawatan perineum dan jaga kebersihan, haruskan mencuci tangan pada pasien dan perawat. Bersihkan perineum dan ganti alas tempat tidur secara teratur.
h)      Pertahankan intake dan output serta anjurkan peningkatan pemasukan cairan.
i)        Bantu pasien memilih makanan. Anjurkan yang banyak protein, vitamin C dan zat besi.
j)        Kaji bunyi nafas, frekwensi nafas dan usaha nafas. Bantu pasien batuk efektif dan nafas dalam setiap 4 jam untuk melancarkan jalan nafas.
k)      Kaji ekstremitas: warna, ukuran, suhu, nyeri, denyut nadi dan parasthesi/ kelumpuhan. Bantu dengan ambulasi dini. Anjurkan mengubah posisi tidur secara sering dan teratur.
l)         Anjurkan istirahat dan tidur secara sempurna.



2)      Tujuan 2 : Identifikasi tanda dini infeksi dan mengatasi penyebabnya.
Intervensi :
a)      Catat perubahan suhu. Monitor untuk infeksi.
b)      Atur obat-obatan berikut yang mengindikasikan setelah perkembangan dan test sensitivitas antibiotik seperti penicillin, gentamisin, tetracycline, cefoxitin, chloramfenicol atau metronidazol. Oxitoksin seperti ergonovine atau methyler gonovine.
c)      Hentikan pemberian ASI jika terjadi mastitis supuratif.
d)      Pertahankan input dan output yang tepat. Atur pemberian cairan dan elektrolit secara intravena, jangan berikan makanan dan minuman pada pasien yang muntah
e)      Pemberian analgetika dan antibiotika.

b.      Nyeri berhubungan dengan infeksi pada organ reproduksi
Tujuan : Nyeri berkurang/terkontrol
Intervensi :
1)      Selidiki keluhan pasien akan nyeri;perhatikan intensitas (0-10),lokasi,dan faktor pencetus
2)      Awasi tanda vital,perhatikan petunjuk non-verbal,misal: tegangan otot, gelisah.
3)      Berikan lingkungan yang tenang dan kurangi rangsangan penuh stress.
4)      Berikan tindakan kenyamanan (missal : pijatan / masase punggung)
5)      Dorong menggunakan tekhnik manajemen nyeri , contoh : latihan relaksasi / napas dalam , bimbingan imajinasi , visualisasi)
6)      Kolaborasi :
a)      Pemberian obat analgetika.
Catatan: hindari produk mengandung aspirin karena mempunyai potensi perdarahan
b)      Pemberian Antibiotika

c.       Cemas / ketakutan berhubungan dengan perubahan keadaan atau ancaman kematian
Tujuan : Klien dapat mengungkapkan secara verbal rasa cemasnya dan mengatakan perasaan cemas berkurang atau hilang.
Intervensi :
1)      Kaji respon psikologis klien terhadap perdarahan paska persalinan
Rasional : Persepsi klien mempengaruhi intensitas cemasnya
2)      Kaji respon fisiologis klien ( takikardia, takipnea, gemetar )
Rasional : Perubahan tanda vital menimbulkan perubahan pada respon fisiologis
3)      Perlakukan pasien secara kalem, empati, serta sikap mendukung
Rasional : Memberikan dukungan emosi
4)      Berikan informasi tentang perawatan dan pengobatan
Rasional : Informasi yang akurat dapat mengurangi cemas dan takut yang tidak diketahui
5)      Bantu klien mengidentifikasi rasa cemasnya
Rasional : Ungkapan perasaan dapat mengurangi cemas
6)      Kaji mekanisme koping yang digunakan klien
Rasional : Cemas yang berkepanjangan dapat dicegah dengan mekanisme koping yang tepat.

d.      Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia.
Tujuan : Terpenuhinya kebutuhan nutrisi yang dibuktikan oleh pemulihan luka tepat waktu, tingkat energi cukup dan Hb / Ht dalam batas normal pasca partum.
Intervensi :
1)      Anjurkan pilihan makanan tinggi protein, zat besi dan vitamin C.
2)       Tingkatkan masukan sedikitnya 2000 ml / hari jus, sup dan cairan nutrisi lain
3)      Berikanlah cairan / nutrisi parental sesuai indikasi (kolaborasi)

e.       Nyeri berhubungan dengan respons tubuh pada agen tidak efektif : sifat infeksi.
Tujuan :
1)      Mengidentifikasi / menggunakan tindakan kenyamanan yang tepat secara individu.
2)      Melaporkan ketidak nyamanan hilang / terkontrol
Intervensi
a)      Kaji lokasi dan sifat ketidaknyaman atau nyeri
b)      Berikan instruksi mengenai, membantu, mempertahankan kebersihan dan kehangatan.
c)      Instruksikan klien untuk melakukan teknik relaksasi
d)      Anjurkan kesinambungan menyusui saat kondisi klien memungkinkan.

f.        Resiko tinggi terhadap perubahan menjadi orang tua berhubungan dengan penyakit.
Tujuan :
1)      Menunjukan perilaku kedekatan terus menerus interaksi orang tua-bayi
2)      Mempertahankan / melakukan taggung jawab untuk perawatan fisik dan emosi terhadap bayi baru lahir, sesuai kemampuan.
3)      Mengekspresikan kenyamanan dengan peran menjadi orang tua.
Intervensi :
a)   Berikan kesempatan untuk kontak ibu-bayi kapan saja memungkinkan.
b)   Pantau respons emosi klien terhadap penyakit dan pemisahan dari bayi.
c)   Anjurkan klien untul menyusui bayi bila mungkin
d)  Anjurkan ayah / anggota keluarga lain untuk mera

DAFTAR PUSTAKA

Ambarwati dan Wulandari, 2009, Asuhan Kebidanan NIFAS, MITRA CENDEKA Press, Jogjakarta
Doenges M.E. (2001). Nursing Care Plan. Guidlines for Planning Patient Car
(2 nd ed ). F.A. Davis Company. Philadelpia.
Farrer H. Prawatan Maternitas. Jakarta. EGC, 1999. hal 231-232
Hanifa, 2002, Ilmu Kebidanan, Jakarta, Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirohadrjo.
Rustam Mochtar, Prof. Dr. MPH, 1998, Sonopsis Obstetri, Jilid 1, EGC, Jakarta.